Indonesia-Ku

Itulah kiranya yang terngiang dalam hati kita pada tanggal 13 – 14 Mei 2018. Beberapa BOM diledakkan di beberapa tempat di Surabaya. Belasan korban tewas dan puluhan orang mengalami luka ringan maupun berat. Tragedi yang senantiasa menjadi momok di hati masyarakat Indonesia. TEROR Bom yang kapanpun dan dimanapun siap diledakkan oleh TERORIS. Ironisnya, kejadian ini sekaligus membunuh pelaku BOM itu sendiri, biasa disebut dengan BOM Bunuh Diri. Apa motif dibalik semua ini? yang jelas kami tidak akan membahas dengan detail perihal ini. Adapun yang akan kami bahas adalah pola dan respon masyarakat Indonesia dalam menanggapi peristiwa ini melalui Media Sosial, khususnya penggunaan hashtag / tagar:
#Kamitidaktakut
#Kamitidaktakutterorisme
#kamitidaktakutbom
dan sejenisnya.

Bagimana tanggapan WTCI mengenai Tagar / Hashtag “Kami Tidak Takut”, dilihat dari Ilmu Teknologi pikiran?

Screenshot #kamitidaktakut. diakses 140518
Bom bunuh diri yang meledak di sejumlah gereja di Surabaya telah membuat geram dan amarah banyak orang, termasuk diri pribadi ini. Tidak ada yang salah dengan hashtag tersebut, namun akan sangat sulit untuk benar-benar tidak takut ketika korban jiwa berjatuhan dan semakin banyak korban tewas. Foto dan video korban yang begitu vulgar tanpa sensor juga turut memupuk ketakutan. Kemampuan Sensorik Visual (V), Auditori (A), dan Kinestetik (K) kita dipenuhi dengan berita tersebut. Masihkah cocok menyerukan sikap “kami tidak takut?”, atau bahkan kita sendiri ikut serta menyebarkan tagar tersebut diatas.
Naluri manusia bila mengalami langsung atau hanya melihat (V), mendengar (A) atau merasakan (K) peristiwa diatas sudah pasti takut, itu semuanya WAJAR. Sikap “kami tidak takut” cukup dimaknai sebagai simbol, jangan dilawan dengan kata negatif “TIDAK”. Seperti Rasulullah ketika di dzalimi, beliau tidak serta merta melawannya dengan keras dan perkataan yang negatif, namun justru dengan kasih sayang dan kata-kata positif (doa).
Daripada menyerukan “tidak takut”, lebih baik seruan yang lebih positif atau motivasi bagi masyarakat dan korban. Kata “TIDAK” memang tidak seharusnya digunakan. Kata ini akan dibaca otak menjadi “Saya Takut”. Melalui tulisan ini, kami melalui WTCI mencoba Menganggapi Tagar / Hashtag “Kami Tidak Takut”, sesuai dengan keilmuan yang kami dalami yaitu dunia teknologi pikiran.
Dalam Neuro Linguistic programming (NLP) juga menganjurkan kata-kata positif untuk menanamkan sugesti tertentu. Anak kecil bila sering dilarang-larang, justru akan melakukan tindakan kebalikannya. Contohnya: “Jangan bermain Gas LPG!”, dalam dirinya justru muncul sugesti untuk bermain Gas LPG. Apa yang akan ia lakukan? Ya benar, si anak akan lebih sering bermain gas LPG.
Dapat disimpulkan: Bahwa dengan sugesti “kami tidak takut”, kira-kira apa dampak yang terjadi?
Naudzubillah, bila suatu saat terjadi teror Bom serupa justru muncul rasa takut yang sangat hebat dalam hati masyarakat Indonesia.Masihkah kita menggunakan Tagar / Hashtag “Kami Tidak Takut”? Semua kembali kepada sisi kebijaksanaan pribadi ini untuk memutuskan.